Saturday, April 28, 2012

hai perempuan hujan...


Aku suka sekali berdiri diluar ketika mendung mulai berarak membawa hujan. Ada rasa haru yang menyelimuti ketika angin menerbangkan helai-helai rambutku. Ketika gemerisik daun berterbangan menyentuh kulitku. Rasanya sungguh sulit kulukiskan dengan kata-kata.

Kau pasti tahu rasanya hei perempuan hujan, seperti apa rasanya berdiri dibawah gerimis itu. Hanya sesaat, sebelum hujan sore ini benar-benar luruh membasuh bumi....

Tuesday, April 24, 2012

Imajinasi, fantasi dan Tokay kambing


Imajinasi dan fantasi seperti menjadi bagian terpenting dalam hidupku. Kadang-kadang keduanya munculkan persepsi yang bias di kepalaku. Jangan tanya tentang apa, karena semua bisa saja berseliweran di kepalaku. Tak peduli soal ipoleksosbudhankam (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan –> Hai, kok jadi inget jaman jebot ya…) maupun soal printilan cinta.
Aku mencoba jadikan kepalaku sebagai padang rumput dimana imajinasi menyulap dirinya menjadi sekumpulan kambing yang bebas merumput dibawah rindangnya pohon-pohon fantasi. Yang membuatku senewen adalah saat kambing imajinasi itu kekenyangan merumput. Sontak mak blak babak bunyak tokay markengkongbulet-bulet segentong mengotori ranah penggembalaan hijau di kepalaku. Sekalipun adem dan sejuk sepoi-sepoi, tetap saja butiran tokay kambing mengganggu kesempurnaan ‘dunia kepalaku’.
Akhirnya persepsi keindahan antara kebun dengan rumput tinggi subur, sekumpulan kambing montok dan rindangnya pohon yang menaungi, berubah menjadi sebuah toilet kecil yang menjijikkan. Bukan salah tokaynya! Tokay adalah edisi akhir dari proses metabolisme tubuh. Jadi dia adalah “akibat” alias obyek penderita. Kalau soal bau dan bentuknya yang aneh, itu memang haknya si tokay kambing.
Membebaskan imajinasi dan fantasi memang tidak mudah. Ada batasan absurd yang dibangun oleh manusia yang merasa dirinya ’super’ hingga kesampingkan tulusnya imajinasi dan fantasi. Bisa dibayangkan sekerdil apa manusia itu! Dia hanya melihat sesuatu dari sisi yang salah, melihat sesuatu dari sisi dimana dia berdiri, melihat dari sisi dimana kebenaran (yang juga absurd) itu dia yakini. Malangnya…
Jadi tetap saja tokay yang disalahkan! Karena dia pembawa aroma neraka, dia pembawa comberan petaka. Hingga imajinasi dan fantasi menunggu mati suatu hari nanti.

Raksasa Kerdil...


Duduk sendiri, kutembus kaca di depanku yang menghadap jalan hiruk pikuk di jam pulang kantor. Segelas besar ice green tea bersisa bongkahan kecil beberapa batu es perlahan cair dan tinggalkan genangan melingkar di alas gelas. Kutitipkan kepenatanku pada tetesan uap air di sepinggiran gelas itu untuk mengalir, menguap lalu hilang. Gontai kuambil sebuah majalah lawas dari rak kayu tak jauh dari tempatku duduk. Kubolak-balik lembarannya sampai terhenti pada sebuah rubrik fiksi berjudul ‘Raksasa Kerdil’:
…Terus terang bayangan raksasa kerdil itu masih saja mengambil alih sebagian pikiranku beberapa hari ini. Raksasa kerdil yang selalu memandang bumi pada pilahan derajat. Raksasa kerdil yang selalu menilai dirinya adalah pengimbang tata surya. Raksasa kerdil yang meletakkan segala kebenaran di sekelilingnya adalah absurd. Raksasa kerdil yang menutup mata, hati dan pikirannya dengan segala prasangka. Raksasa kerdil yang menduplikasi hantu yang paling ditakutinya…
Konon sebelum menjadi seperti sekarang ini, raksasa kerdil itu adalah seorang manusia yang memiliki rasa hormat terhadap orang lain, tak sekalipun pernah merendahkan orang-orang di sekelilingnya. Tak pernah terbersit sedikitpun mengolah kata atau mengumbar prasangka terhadap apapun yang dialaminya. Intinya, dia adalah manusia yang penuh cinta kasih. Sampai keadaan duniawi yang menghimpit mengikis nuraninya, menggerogoti jiwa-jiwa putihnya hingga dia melupa dan menjelma menjadi seorang raksasa kerdil.
Aku menghentikan sejenak mataku dari majalah yang kupegang. Seorang wanita cantik menyapaku dan menawariku bungkusan rokok sambil tersenyum akrab. “Maaf, saya tidak merokok, terima kasih.” tolakku halus.
…Raksasa kerdil itu kini tinggal sendiri di hutan lebat. Satu-satunya teman adalah prasangkanya. (tamat)

Sendiri...


Tak perlu terhenti di sisa perjalanan ini, toh, dulu, sekarang atau esok pun kita berada di jalan yang berbeda. Tidak kah batin kita menyadari bahwa ‘sendiri’ adalah abadi?
Bukankah di kematian pun kita akan sendiri?
Maka akhirnya mesti dipahami, bahwa kita masih diberi arti untuk melewati segala cerita yang telah pergi…
Melihat bahagiamu seolah tak ingin ku mengusik. Kubiarkan saja tawa dan gelayut manjamu beralih pada satu sosok yang selama ini kamu pungkiri.
Kita sesungguhnya hanyalah selembar daun yang hanyut di permukaan sungai. Tak ada tangan yang bisa mencengkeram tepiannya. Juga tak ada tali yang terlempar dan menarik kita dari arusnya. Kita hanya ikuti alurnya kemana-mana.

Monday, April 23, 2012

narasi pertamaku.. hahay...

Teman, please, untuk yang satu ini kuharap hanya antara aku dan kamu.

Kamu tentu tahu bahwa aku adalah orang yang sulit untuk menaruh kepercayaan pada seseorang, bagiku semuanya sama saja: memandang orang lain dari tampangnya, lebih memilih game daripada pacarnya, atau lebih parah lagi mayoritas dari mereka adalah maniak sensualitas. Tentu saja ada pengecualian. Jujur aku tak tahu mengapa orang orang yang kuceritakan diatas dapat memiliki pikiran pikiran kotor mengenai orang lain atau hal hal lain yang tidak pantas diucapkan,

Tapi dia berbeda, aku telah melihat sedikit profilnya di biodata salah satu jejaring social. Dan aku tahu kurasa dia bukan slaah satu kriteria orang kuceritakan diatas. Dan aku kagum akan kesan pertama (bukan pandangan pertama).

Beberapa hari kemudian ku beranikan diri untuk mengirimkan permintaan pertemanan padanya dan aku tersenyum girang begitu tahu dia menerima permintaanku itu. Satu hal yang aku pikirkan adalah: aku harus berkenalan dengannya.

Ffiuh. Untunglah aku tidak segera menerornya dengan segudang pesan di inbox ataupun di dindingnya dengan kalimat: “Leh nal, gag?” atau “TFR. Cp di sana?” atau mungkin dengan gaya 4L4Y yang bagi sebagian orang adalah bentuk gaul (yang sangat berlebihan) “Kk, L3H N4L, 64K? M4K4ciiH c07f12mny4, Y4ch”. Mungkin, bila itu sempat kulakukan, mungkin dia akan membatin, “nih orang agresif banget, ya?” atau “males gilak bales inbox dia” atau komentar paling singkat “jijik!”.

Well, kalau kamu bertanya alasanku me-request pertemanan itu karena aku ingin tahu statusnya yang penuh motivasi. Dan tujuan utamanya adalah aku berniat menjadi secret admirer-nya. Just it, Sebenarnya, harapanku adalah pertemuan bak sinetron: bertemu di kampus, bukuku jatuh. Dia ngambil, aku ngambil. Dia bengong, aku bengong. Dan sama-sama terbengong. Akhirnya, saling kenalan, deh.

Singkat kata aku berteme dan berkenalan dengannya, bagaimana bisa, biar itu jadi ceritaku. Kamu cukup tau endingnya saja.. aku tetap sama, kekagumanku tidak hilang untuknya. Hingga aku sedikit memberanikan diri untuk menulis inisial huruf yang kutujukan padanya di beberapa status akun ku, aku tulis… TB.

sepuluh tahun.....

Sudah 10 tahun.
Hari-hari telah kujalani sejak aku mengenal fakta kehilanganmu. Lihatlah aku sekarang, kadang-kadang aku bertanya apa akan sama jadinya seandainya kau masih ada. Tetapi, itu bukanlah suatu hal yang bijak untuk dipertanyakan, bukan? Aku tahu, maka kerap aku harus menepis tanya macam itu. Kau tahu jika aku membincangkan lagi tanya macam itu, itu artinya aku sedang merindukanmu. Aku hanya merindukanmu. Itu saja. Tapi kadang kerinduan akan hal yang jauh dan tak tergapai mengundang suatu kepedihan. Mungkin itu sebabnya tanya itu kerap menjelma. Akankah sama jadinya... Tapi itu tak penting lagi sekarang. Lagi pula jawabannya tak akan pernah ditemukan.

Aku begitu konyol, bukan? 
10 tahun itu cukup lama. Tapi waktu ternyata tak jua mampu hapuskan semua kepedihannya. Kadang ada semacam sesal, kenapa begitu sedikit kenangan yang kita punya? Sebenarnya, aku ingin bisa mengenangmu dengan lebih baik. Tapi memanglah begitu singkat waktu yang kita punya. Jadi aku bisa apa? Bagaimanapun, aku sudah belajar untuk hidup sendiri. Menghadapi hal-hal dan perasaan-perasaan sendiri. Aku terbukti bisa melakukannya. Meski mungkin dengan belum cukup baik. Yah, aku berharap bisa lebih kuat dari ini. Bisa lebih baik dari ini. Hanya aku belum sepenuhnya memahami kerapuhan-kerapuhanku sendiri. Itulah mengapa, aku benar-benar tak dewasa, bukan? Meski keadaan menuntutku demikian.

Apa yang akan aku katakan lagi sekarang? Aku tak tahu. Pada akhirnya, aku merasa sungguh konyol. Aku tetap saja tak bisa mengungkapkan seluruhnya, bukan? Pikiranku, perasaanku, tetap saja hanya milik diriku. Aku sungguh sendirian, bukankah begitu? Dalam hal ini, aku memang sendirian. Tak ada tempat berbagi, meski itu hanyalah secarik kertas atau seberkas halaman kosong, aku hanya bisa membaginya lewat kata-kata berliku yang serikali tak jelas ujung-pangkalnya dan tak mewakili apapun. Seperti yang tengah kutulis sekarang ini.

Thursday, April 19, 2012

berkenankah kamu??

Sebuah cinta, mestinya seutuhnya.
Tak ada yang lebih menyakitkan dari cinta yang dibagi. Sejatinya, semua orang ingin dicintai secara total. Satu. Kadang cinta tak cukup mencintai satu.
Sebelum yang kamu cintai sekarang, pasti ada orang yang pernah kamu cintai juga. Akan begitu seterusnya. Namun ini semua bukan tentang cinta yang tertinggal, tetapi bagaimana kamu menggunakan cinta yang ada, untuk mencintai dengan penuh.
Percayalah, sebuah cinta akan terisi dengan sendirinya sampai penuh. Kadang sampai luber.
Cinta yang berlebihan, apalagi kekurangan, sama-sama tak baik. Tapi kita hanya manusia biasa. Kadang cinta yang sudah satu, digunakan mencintai seseorang–yang tanpa alasan jelas bisa pergi sewaktu-waktu– dalam sebuah kurun waktu, hingga saatnya ada orang baru. Cinta yang berlebihan, pada saat yang tepat, pada saat yang disepakati itu benar, harus dibagi.
Maafkan aku, sayang. Sepertinya cintaku yang satu, kepadamu, kelak akan terbagi. Aku tak akan kuat menahan terbaginya cintaku yang satu ini. Aku sudah melihat cinta yang ini akan berlebihan, aku membutuhkan wadah yang baru untuknya. Entah dirimu akan terima atau tidak, tetapi aku harus membagi cinta yang satu ini.
Kelak, cintaku akan terbagi, untuk seorang gadis. Seorang gadis kecil yang di pagi hari nanti aku ikatkan tali sepatunya pada hari pertama ia sekolah, yang mencium tanganku sebelum melangkahkan kaki kecilnya ke dunia yang baru, yang ketika dalam malam yang sama aku pulang dia bergegas menghampiri, “Ibu, ayah pulang!” seraya berteriak memanggil kamu.
Berkenankah, kamu?

Monday, April 16, 2012

Pulang....

Aku menulis ini sambil mendengarkan Home dari Michael Buble. Tetiba aku merindukan rumah. Bukan rumah lengkap dengan atap dan lantai tempat aku tumbuh, bukan juga yang isinya sebuah ruang berisi furnitur dan barang elektronik tempat aku dan keluarga berdiskusi.
Aku rindu kamu, aku rindu aku, aku rindu kita yang dulu lagi. Aku rindu cinta, yang sejak beberapa waktu lalu, sejak awal kita bertemu menjadi rumah untukku. Ke mana rumah itu sekarang? Atau rumah itu tetap ada tetapi aku yang tak sedang di rumah? Lantas, berada di mana aku saat ini? Kamu di mana?
Banyak yang sudah kita lalui di rumah itu. Tawa, canda, tangis, semua menjadi satu membentuk sebuah bingkai. Aku tak ingin semuanya hanya menjadi bingkai kenangan. Siapa pemilik rumah itu sebenarnya? Aku, atau kamu? Mengapa tak kita miliki bersama saja rumah itu. Kita tinggali bersama.
Atau kamu sudah tidak mau lagi tinggal bersamaku di rumah itu? Aku akui, rumah itu tak sempurna, selalu ada tetesan-tetesan air mata keluar dari atapnya. Tapi juga banyak suara semilir gelak tawa dari jendelanya yang rapuh sesekali melewati sela antara daun telinga. Namun aku tak ingin meninggalkannya, aku tak akan meninggalkannya tanpa kamu. Aku tak ingin rumah yang baru. Yang aku ingin hanya rumah ini, bersama kamu.
Kamu, kembalilah ke rumah. Tak inginkah kamu pulang? Aku mau pulang.

Sunday, April 15, 2012

sepi...

Pagi ini aku terbangun lagi. Tidak ada yang berbeda. Masih aku terbangun sendiri, bukan kamu bangunkan sebagai pertanda hati itu terbuka lagi.
Aku tak mendapati satu halpun berbeda, kecuali perasaanmu. Kini sudah berbeda. Sejak kamu pergi, kursiku tak pernah menghadap jendela lagi, terlalu iri melihat burung bermain bersama air. Matahari seolah enggan menyapa lagi.
Kamu, buatlah yang akan duduk di kursi itu ceria lagi. Kembalilah.

Kamu jangan pergi

Jika kamu pergi, senyum ini untuk siapa lagi? Lalu ke mana larinya lengkung bibir itu? Hanya menyelinap ke dalam pori-pori mimpi?
Jika kamu pergi, ke mana lagi aku layangkan alunan rindu ini? Ke telinga Cupid yang sudah lumpuh menembakkan panah cintanya kepadamu? Ke jari-jari kedinginan yang tak pernah kamu genggam lagi?
Jika kamu pergi, apa lagi yang bisa aku tulis tentang sayang ini? Tentang ketiadaan kamu? Tentang pundak kosong tak berpenghuni yang merindukan sandaran kamu?
Jika kamu pergi, akan aku lipat menjadi apa kertas yang biasa aku buat menjadi burung atau kupu-kupu kesukaanmu? Atau hanya harus kuubah menjadi mawar yang kelopaknya gugur perlahan? Atau harus kubentuk menjadi sebuah nisan yang di atasnya tertulis kenangan kita?
Jika kamu pergi, siapa lagi yang aku tunggu menjadi penyemangat di saat-saat tersulitku? Aku harus menunggu suara burung hantu di tengah malam, seakan mengejek atas segala kekalahanku? Atau cukup ditemani keheningan malam, mendinginkan hati?
Jika kamu tak kembali, apalagi yang pantas aku tunggu mengorbankan sisa waktu hidupku? Menunggu hingga usia menggerogoti jasad ini? Bahkan dengan bantuan rindu, jiwaku tak akan tersisa.
Kamu, jangan pergi.

Jika semalam hujan

Ketika hujan turun, aku selalu berterima kasih. Berterima kasih kepada hujan, karena telah memberiku kesempatan untuk melamun. Bagiku, saat hujan adalah saat yang tepat untuk melamun. Melihat tetesan hujan dari jendela yang terlihat seperti memaksa untuk masuk tapi terhalang kaca jendela. Menatap kumpulan tetesannya yang bersatu menjadi sebuah aliran air menuruni kaca jendela, seolah mereka tak lagi ada harapan untuk masuk, dan rela untuk luruh jatuh ke tanah.
Entah mengapa, hujan yang datang beramai-ramai itu hanya menghadirkan sepi. Apakah hujan terdiri atas 1% air + 99% kesepian? Jika benar begitu, yang tersisa hanya 100% kenangan.
Namun, bahkan setelah hujan berhenti pun kesepian itu tak kunjung luruh bersama aliran air hujan? Masih tetap menggantung seperti tetesan embun di pucuk daun.

surat Rindu yang tak perlu dibalas

Bagaimana mungkin pria dan wanita, dua makhluk yang saling bingung karena sifat lawan jenis masing-masing, bisa jatuh cinta?
Bagaimana mungkin pria dan wanita, yang konon berasal dari planet yang berjauhan, yaitu dari Mars dan Venus, bisa saling merindukan padahal sama-sama sedang berada di bumi?
Ah, pertanyaan klise itu memuakkan, memekakkan telinga. Namun apa yang lebih lumrah dari kalimat “aku rindu kamu”? Rindu yang tak berbalas. Setidaknya begitu bagiku.
Semua hal memang tak harus tersurat, tapi tak semua manusia memiliki kepekaan tinggi terhadap yang tersirat. Mulut-mulut itu berucap, “Tenang saja, dia juga pasti merindukanmu.”
Mungkin. Mungkin. Mungkin.
Cuma kata itu yang terus-terusan dimentahkan pikiran melalui mulutku.
Berpikir positif. Ah, sudah. Sejak awal hingga kini aku berpikir positif. Aku menanamkan kalimat “kamu juga rindu aku” dalam benak. Namun benakku tidak cukup bodoh untuk tidak meminta bukti. Kepada semesta, aku meminta bukti sebagai alasan aku bisa tetap terus rela benih kalimat positif tersebut tertanam dalam benak.
Entah aku yang kurang peka membaca sinyal rindu yang kamu beri, atau memang kamu yang belum mengirimnya sama sekali.
Rindu yang tak berbalas membuatku terlihat gila, atau aku memang benar-benar sudah gila. Bahkan ketika seseorang yang memang dikenal lucu melucu di depan banyak orang, membuat orang-orang terbahak-bahak, tetapi tetap saja wajah dan tatapanku seperti hasil persilangan antara layar televisi, kulkas, dan dompetku. Datar, dingin, dan kosong.
Rindu yang tak berbalas itu seperti lubang hitam. Menyedot habis semua senyum, tawa, dan canda yang aku punya.
Kita duduk berdekatan, tapi kita sendiri-sendiri.
Sayang, surat ini tak perlu dibalas. Tetapi balaslah rinduku, maka aku akan tetap waras.

Boleh Aku peluk Lagi???

Satu, saat udara tergerak bulir-bulir hujan, menghembuskan dirinya melewati sela jari dan telingamu. Sontak membuat bulu kudukmu berdiri. Di sana aku ada, menghangatkan.
Lagi, ketika kamu terlelap dalam malam penuh mimpi, entah tentangku atau bukan. Saat gerakan tubuhmu tak sengaja menjauhkan selimut. Namun aku dekat.
Lagi, waktu pertama kamu membuka mata, menghadap ke jendela, menyadari betapa aku tak begitu nyata. Embun pagi hampir ditonggakkan daunnya, pertanda hari segera datang. Aku di sana, menyejukkan.
Lagi, saat kamu pertama melangkahkan kakimu ke dalam rumah di ujung hari yang lelah. Tergeletak di sofa, tertidur bahkan belum sempat melepaskan sepasang kaos kaki merah jambu kesayanganmu. Aku di sana membuat nyaman.
Selalu, ketika air matamu jatuh untuk kesekian kalinya, entah untukku atau bukan. Aku melingkari pundakmu. Semuanya hanya untuk hal sesederhana senyummu. Aku selalu ada, menenangkan.