Monday, May 7, 2012

Saya, dan cangkir kopi kedua


Jelang tengah hari. Saya beranjak ke pantry, menyeduh kopi. Meresapi aromanya. Segar. Menyeruputnya. Merasakan hangatnya menjalar di mulut dan kerongkongan.

 Ini adalah cangkir kopi kedua. Sebenarnya saya bukan pencinta kopi. Dan tidak pernah mengklaim bahwa saya pencinta kopi. Saya tidak pernah untuk sengaja mencari tahu berbagai informasi tentang kopi. Tidak pernah dengan sengaja berburu kopi dari berbagai daerah. Juga tidak terlalu sering nongkrong di coffee shop. Hanya saja, saya sering mengantuk sementara ada banyak hal yang ingin dikerjakan. Terlebih lagi, khusus untuk hari ini, semalam saya baru tertidur jam setengah tiga pagi. Bukan kebiasaan saya tidur larut, hanya kadang-kadang saja. Saya bukan orang yang kuat begadang. Itu sebabnya saya butuh kopi.

Kopi adalah minuman yang saya takpernah merasa bersalah untuk meneguknya. Sebab mama takpernah melarang saya minum kopi. Mama bahkan lebih membolehkan saya minum kopi dibandingkan minum teh, meski juga mewanti-wanti agar minum secukupnya saja, jangan berlebihan. Untuk hal ini, mama memiliki sebuah alasan khusus. Suatu kali Ia pernah mengatakannya. Namun saya lupa. Yang pasti, alasan yang dikemukakan mama membuat saya takpernah berkeinginan untuk menghilangkan kebiasaan minum kopi. Dulu, saya dan mama cukup sering minum kopi bersama. Biasanya di pagi hari. Kadang saya yang menyeduhkan untuknya. Kadang Ia yang menyeduhkan untuk saya. Dulu. Sebelum saya akhirnya memutuskan untuk merantau.

Saya meneguk beberapa kali. Masih hangat. Saya merasa hangat. Meski di luar jendela, matahari seperti sedang mengamuk.

Saya taktahu dan selalu lupa bertanya, apakah mama masih minum kopi, saat saya meneleponnya atau mama menelepon saya. Mama pun takpernah bercerita. Terakhir kali meneleponnya beberapa hari yang lalu, mama justru bercerita tentang susu kedelai yang kini ia minum setiap pagi. Ia meminta saya untuk juga meminumnya. Saya mengiyakan. Dan kini saya tengah mencari susu kedelai yang diminum mama. Mama bilang, banyak dijual di swalayan. Cari saja susu kedelai yang kemasan botol, katanya.

Saya kerap pulang sedikit agak malam dari kantor sehingga jarang mengunjungi swalayan. Satu-satunya minimarket yang cukup sering saya kunjungi pada pagi atau malam hari adalah minimarket merah yang terdapat di jalan besar di seberang jalan masuk ke tempat tinggal saya. Namun saya tidak mendapatkan susu kedelai itu dijual di sana. Kalau kamu menemukannya, kabari saya.

Hubungan saya dengan mama sebenarnya tidak terlalu dekat. Saya jarang menceritakan kegiatan ataupun masalah saya pada mama. Mama takpernah mengucapkan selamat ulang tahun di hari lahir saya. Saya pun baru tahu tempat dan tanggal lahir mama beberapa bulan lalu ketika sedang mengurus polis asuransi dan membutuhkan informasi tersebut. Saya menelepon mama, menanyakannya (dengan sedikit perasaan bersalah dan malu yang bercampur aduk). Mama menyebutkannya dengan nada sangat biasa. Dan sekarang, saya lupa lagi. Hanya ingat bulan lahirnya.

Dan sejujurnya, terutama dulu, hubungan saya dan mama sebenarnya lebih banyak diwarnai dengan perdebatan. Saya dan mama, dari dulu hingga kini, selalu memiliki sudut pandang yang berbeda tentang suatu hal. Dan dulu, di saat kemampuan saya dalam menjelaskan apa yang ada di hati dan pikiran saya masih terbatas, saya sering membantah ucapannya dan tidak mendengarkan larangannya. Mama menyampaikan apa yang menurutnya benar sementara saya mengerjakan apa yang menurut saya benar, dengan pemahaman akan kebenaran yang bertolak belakang.

Sehingga saya sering dicap keras kepala. Dan hemm… suka melawan.  Label terakhir itu sungguh menakutkan buat saya. Sebab suka melawan identik dengan durhaka. Dan anak durhaka tidak disukai Tuhan. Saya takingin dibenci Tuhan. Namun juga bingung menghadapi berbagai perbedaan sudut pandang dengan mama.

Meskipun begitu, saya punya ketergantungan unik pada mama. Nilai-nilai sekolah yang bagus saya dapatkan ketika dekat dengan mama. Menyerap pelajaran terasa begitu mudahnya. Saya juga takterlalu sulit mendorong diri untuk belajar.  Saya adalah anak yang mama takperlu bersusah-susah menyuruh belajar. Dan ketika saya (pernah) harus tinggal jauh dari mama, nilai-nilai saya menurun drastis. Saya sulit mencerna pelajaran di sekolah. Saya jarang mengerjakan pe-er, apalagi belajar. Saya hanya ingin bermain dan membaca komik. Sebab itu menyenangkan. Selama empat tahun tinggal jauh dari mama, ia mengunjungi saya sekali setahun, saat liburan. Dan selama kunjungan tersebut, saya dan mama takpernah berdebat. Kemana pun mama pergi, saya ikuti. Bahkan ketika hanya ingin sekedar pergi ke toilet.

Pertentangan saya dan mama makin menjadi hingga saya akan masuk universitas. Bila dekat, saya dan mama nyaris takpernah akur. Namun bila jauh, nilai-nilai sekolah saya terancam buruk. Ini membingungkan buat saya. Saya ingin jauh, agar kami taklagi berdebat. Saya letih. Dan takut dibenci Tuhan. Namun saya juga ingin dekat agar nilai-nilai saya selalu baik.

Dan akhirnya, saya memilih untuk jauh. Setiap malam, saya berdoa pada Tuhan untuk diluluskan di universitas di luar kota kelahiran saya, meskipun jurusannya bukan yang paling saya inginkan. Ini semata hanya untuk menyelamatkan hubungan saya dan mama. Dan saya tahu benar, saya akan jatuh bangun dalam mengejar pelajaran saya nantinya. Jauh dari mama. Di kota yang sama sekali belum pernah saya kunjungi.

Segera kemasi barang-barangmu, kata mama sesaat setelah saya menyampaikan bahwa saya lulus. Mama lalu menyiapkan hal-hal yang lainnya seperti keberangkatan, menghubungi keluarga di Jakarta, dan semacamnya. Datar. Seolah ini adalah peristiwa biasa. Dan memang perpisahan adalah peristiwa yang sudah biasa di keluarga kecil kami. Hingga suatu malam, saat saya tengah mengepak pakaian-pakaian saya, dari sudut mata, saya menangkap mama menghampiri dan berdiri di pintu kamar, memperhatikan kesibukan saya. Biasanya mama akan ribut memprotes cara saya mengepak barang-barang. Saya akui, belum pernah ada orang yang saya kenal yang lebih apik dari mama dalam mengepak barang.  Namun, sesaat kemudian, mama berlalu. Adik saya yang tengah menemani saya di kamar berbisik,

Kak, mama nangis.  


Saya menoleh ke arah adik. Sempat terdiam. Lalu perlahan, kembali meneruskan melipat dan memasukkan pakaian saya ke dalam tas.

                                                                            ***

Tentu, saat ini, semua keadaan semakin membaik, meski sudut pandang mama dan saya dalam melihat sesuatu masih tetap berbeda. Saya telah banyak belajar untuk mampu menyampaikan apa yang saya inginkan dan saya rasakan. Semua keinginan saya, impian saya (salah satu tema yang cukup sering saya bahas dengan mama, sebab mama pun memiliki keinginan atas masa depan saya), saya jelaskan. Dan pada akhirnya, mama selalu bilang, ya sudah, yang penting itu baik untukmu.

Kopi saya hampir dingin. Saya teguk sampai habis. Ini cangkir kopi kedua.




copyright from http://poetrybumi.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment